Kamis, 05 November 2009

Mengenang 30 Tahun Kepergian Soe Hok Gie



Tiga puluh tahun meninggalnya Soe Hok Gie akan diperingati dalam acara
diskusi sehari, Sabtu 27 November di Kampus Universitas Indonesia Depok.
Acara mengenang tokoh cendekiawan, budayawan dan demonstran itu
diselenggarakan oleh sahabat-sahabatnya, alumni Fakultas Sastra dan alumni
Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI.

Soe Hok Gie meninggal dunia 16 Desember 1969 sehari menjelang ulang tahunnya
ke 27 karena kecelakaan di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur. Dalam hidupnya
yang singkat itu almarhum dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa yang
berani dan gigih. Yang mengobarkan pemikiran dan sikapnya melalui tulisan,
dalam mimbar diskusi, rapat senat mahasiswa sampai pada berdiri di barisan
paling depan demonstrasi menentang pemerintahan Soekarno.

Lawan-lawan bicaranya mulai dari tokoh-tokoh besar seperti Presiden Soekarno
(ia datang ke Istana dengan jas pinjaman), Soedjatmoko, Mochtar Lubis,
sampai pada teman-temannya seangkatan seperti Akbar Tandjung.
Tulisan-tulisannya yang menyangkut permasalahan kemanusiaan, hak-hak asasi
manusia, kebangsaan, moral, keadilan hukum dan dunia mahasiswa tersebar di
berbagai media, terutama Indonesia Raya, Sinar Harapan, Kompas, Mahasiswa
Indonesia (edisi Jawa Barat). Tulisannya bermunculan demikian produktif di
antara tahun 1966 sampai 1969.

Dalam booklet yang disusun oleh Sofjian Thaib, alumnus Mapala-UI, untuk
mengenang 30 tahun kepergian Soe Hok Gie, dicuplik beberapa tulisan
almarhum. Di tahun 1969, ia mengomentari rezim Orde Baru: "Tahun ini adalah
tahun pertama Pembangunan Lima Tahun. Sampai saat ini, kesan saya adalah
bahwa rakyat Indonesia acuh tak acuh terhadap rencana besar ini. Hampir tak
ada komunikasi yang dimengerti masyarakat umum, dan Pemerintah yang terlalu
pragmatis sekarang pada akhirnya gagal menimbulkan gairah dan sokongan kerja
rakyat.".

Di tahun yang sama, ia pun telah mempersoalkan kontinuitas peran teknokrat
dalam hegemoni militer negara Orde Baru. Sedangkan tentang hukum di tahun
1970, ia menulis: "Mahasiswa hukum akhirnya belajar bahwa ada pula
hukum-hukum yang tak tertulis yang lebih superior daripada yang telah
tertulis. Mereka perlu koneksi dengan orang-orang penting, dengan tentara,
dengan polisi yang dapat menanggulangi hukum. Dan akhirnya, mereka harus
memendam kenyataan yang pahit itu diam-diam."

Ia mengkritik KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menjadi klik
vested interest. Tentang teman-temannya yang menerima tawaran kursi parlemen
dan bahkan berebut mendapatkan kredit mobil, ia menyebutkannya sebagai
pemimpin yang mencatut perjuangan. "Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun dan
telah berkali-kali tak naik kelas karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi
mahasiswa yang berpolitik, tetapi politisi yang punya kartu mahasiswa."

Ia memang seorang penggerak kekuatan moral, humanis sejati dan idealis yang
bergairah. Tapi mempertahankan idealisme ternyata bukan pekerjaan ringan,
dan itu dirasakannya sendiri, ketika ia bergulat dalam catatan hariannya:
"Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah
lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas
sejauh-jauhnya."

Dalam diskusi sehari bertempat di Pusat Studi Jepang (PSJ) UI Depok itu akan
tampil pembicara-pembicara: Dr John Maxwell (yang disertasinya 1977 di
Australian National University mengenai Soe Hok Gie), Aristides Katoppo,
Mohamad Sobary, Dr Ignas Kleden, dr Marsilam Simanjuntak, dr Hariadi
Darmawan. Acara tersebut akan dipandu oleh Dr Syahrir dan Dr Dahana.

Soe Hok Gie lahir di Jakarta 17 Desember 1942 sebagai putra keempat dari
keluarga Soe Lie Piet. Lingkungan keluarga yang tinggal di pemukiman padat
di kawasan Kebun Jeruk/Sawah Besar Jakarta Pusat ini akrab dengan literatur.
Ayahnya, Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan adalah seorang wartawan dan
penulis.

Dari segi ekonomi, mereka memang serba sederhana, tetapi tidak dalam
penjelajahan intelektual. Soe Hok Gie dan kakaknya, Soe Hok Djien (Arief
Budiman), sudah akrab dengan bacaan sastra dan filsafat sejak duduk di
bangku sekolah menengah. Soe Hok Gie menjadi mahasiswa jurusan Sejarah
Fakultas Sastra UI, sedangkan Arief Budiman menjadi mahasiswa Fakultas
Psikologi UI.

Soe Hok Gie menulis skripsi sarjana mudanya mengenai Sarekat Islam Semarang
yang kemudian dibukukan dengan judul Di Bawah Lentera Merah (Bentang Budaya,
1999). Skripsi sarjananya (ia lulus Mei 1969) adalah tentang pemberontakan
PKI Moeso 1948 yang juga dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan
Jalan (Bentang Budaya, 1997).

Sementara itu, tulisan Soe Hok Gie yang merupakan refleksi tiga tahun Orde
Baru, yang menceritakan tentang teman-temannya yang menjadi anggota DPR-GR,
dan perilaku mahasiswa, telah dibukukan pula dengan judul Zaman Peralihan
(Bentang Budaya,1995). Catatan hariannya pada tahun 1983 diterbitkan oleh
LP3ES dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Setelah meraih
kesarjanaannya, Soe Hok Gie mengabdi pada almamaternya, dengan menjabat
sebagai dosen.

Sebagai mahasiswa, Soe Hok Gie menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra dan
menjadi salah satu pendiri Mapala-UI dan Grup Diskusi UI (GD-UI). Ia pun
aktif dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Di akhir 1965 dan awal 1966,
Hok Gie diketahui secara terbuka mendukung jenderal-jenderal TNI-AD dengan
harapan bahwa mereka akan membawa Indonesia kepada suatu masyarakat yang
adil dan sederajat. Ia malah dikabarkan menjadi salah satu tokoh kunci
terjadinya aliansi Mahasiswa-ABRI pada tahun 1966. Tapi menjelang akhir
1969, semakin jelas baginya bahwa ia telah salah menaruh kepercayaan. Ia
melihat kekuasaan militer menjadi sosok yang fasistis.

Hok Gie juga duduk di LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) yang
didirikan oleh kelompok masyarakat keturunan Cina. Ia agaknya lebih setuju
dengan pendekatan yang dilakukan LPKB ketimbang yang dilakukan oleh Baperki
(Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, juga kelompok besar
golongan Tionghoa). Bulan Februari 1963, ia ikut sebagai delegasi pemuda
yang setuju dengan asimilasi menemui Presiden Soekarno. Tapi
kritik-kritiknya Hok Gie pada LPKB membuatnya ia dipecat dari lembaga
tersebut.

Patriotisme

Bagi Hok Gie, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan
hati seseorang. Ia juga mengatakan: "Hanya di puncak gunung aku merasa
bersih." Tapi lebih dari itu, kecintaannya pada alam adalah bagian penting
dari kejiwaan cinta-Tanah Airnya.

Patriotisme, katanya, tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal
obyeknya. "Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan
mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat".

Hok Gie memang seorang penjelajah alam dan pendaki gunung yang entusias. Ia
punya kekaguman tersendiri pada temannya, Herman Lantang, yang jago naik
gunung dan sedang menjelajahi hutan Irian Jaya. Hok Gie sendiri bercita-cita
suatu saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa yakni Semeru.

Pada 15 Desember 1969, Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul
Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton
Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Hok Gie ingin
bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa
tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676
meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas
beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan
nyawa mereka tidak sempat tertolong.

Cita-cita Soe Hok Gie untuk mati di tengah alam betul-betul kesampaian. Dan
tampaknya juga cocok dengan ungkapan dari puisi Yunani yang suka dikutipnya:
"Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati
muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda."

Lokasi musibah itu terpencil dan nyaris tidak bisa diakses. Helikopter dari
pangkalan TNI-AL Surabaya gagal mencapai lokasi karena cuaca buruk dan areal
yang terjal.

Melalui upaya dari darat, jenazah Hok Gie dan Idhan akhirnya bisa dibawa ke
Malang, 23 Desember 1969. Menjelang malam Natal 1969, pesawat Hercules
TNI-AU yang mengangkut Hok Gie dan Idhan mendarat di lapangan terbang
Kemayoran Jakarta. Di antara ratusan penyambut yang telah menanti berjam-jam
terdapat Prof Soemitro Djojohadikusumo, yang ketika itu menjabat sebagai
Menteri Perdagangan.

Soe Hok Gie dimakamkan di Menteng Pulo dan kemudian dipindahkan ke kuburan
zaman Belanda di Tanah Abang. Di nisan marmernya dituliskan kata-kata dari
lagu kesayangannya: "Nobody knows the troubles I see. Nobody knows my
sorrow." Tahun 1975, sisa jasad Hok Gie digali kembali untuk dikremasikan.
Abunya kemudian ditaburkan oleh sahabat-sahabatnya di lembah Mandala-wangi,
dekat Puncak Pangrango, tempat yang acapkali dikunjungi Hok Gie manakala ia
butuh kedamaian dan kesendirian.

Berita kematian Hok Gie menyebar hingga keluar Indonesia. Pada pertengahan
bulan Januari, dalam suatu pertemuan yang diadakan The Asia Society di New
York, Duta Besar RI Soedjatmoko menyatakan: "... Saya ingin menyampaikan
penghormatan mengenang Soe Hok Gie, salah seorang intelektual yang paling
dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca-kemerdekaan yang baru saja
tewas dalam suatu kecelakaan di Gunung Semeru."

"Komitmennya yang penuh untuk modernisasi dan demokrasi, kejujurannya,
kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan-perjuangannya menyebabkan
dia mampu mengatasi pandangan-pandangan tradisional yang menentangnya yang
disebabkan latar belakang keturunan Cinanya itu. Bagi saya, ia memberikan
ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang
benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah
disampaikannya kepada kita dalam hidupnya yang singkat itu."

Pada bulan April, Benedict Anderson menuliskan ungkapan rasa hormat dan
kagumnya pada sahabatnya semasa masih di Cornell University (Hok Gie pernah
tiga bulan berkelana di AS tahun 1968) dalam artikelnya yang menggugah
perasaan berjudul Indonesia. Esai Ben Anderson kemudian dipublikasikan oleh
harian Kompas, 4 Mei 1970. Ben memuji Hok Gie karena dialah yang pertama
kali melontarkan tentang adanya penahanan besar-besaran di pelosok Jawa dan
Bali tanpa proses peradilan. Ketika itu, simpati yang dia perlihatkan secara
terbuka, termasuk simpatinya kepada keluarga PKI yang mengalami
dehumanisasi, bukanlah tanpa risiko.
Kawan lama Hok Gie, yakni Jopie Lasut yang ketika itu wartawan Sinar
Harapan, menuliskan kenangan tentang Almarhum dalam rangkaian tulisan
memperingati lima tahun kebangkitan mahasiswa. Tentang Soe Hok Gie terdapat
pada bagian kedua serial di Sinar Harapan tersebut (7 Januari 1970) yang
mengisahkan tentang Soe Hok Gie yang memimpin demonstrasi mahasiswa ke
Kantor Pusat Pertamina memprotes kenaikan harga BBM.
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).

Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie.

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

SEKILAS TENTANG SOE HOK GIE

MELAMUN DI ATAS GENTING
“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.

“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya.

Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.

BERANI MENGKRITIK
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.

Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.

Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.


TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.

Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.

Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung.

[+/-] Selengkapnya...